Oleh: Arief Sulistyanto
| Arief Sulistyanto, Pemerhati Kepemimpinan, Etika Publik, dan Refleksi Spiritualitas Sosial. |
DALAM kehidupan sosial kita, tidak sulit menemukan fenomena ketika akal dan kecerdasan manusia terus meningkat, tetapi nurani justru kehilangan arah. Manusia bisa semakin pandai berbicara tentang moral, namun semakin lihai mengelak dari kebenaran. Bisa tampak religius di hadapan publik, namun memanipulasi nilai ilahi demi kepentingan pribadi. Dan yang paling mengerikan—kejahatan yang dilakukan dengan penuh keyakinan bahwa itu adalah kebaikan.
Fenomena ini bukan sekadar penyimpangan perilaku, melainkan gejala spiritual yang lebih dalam yaitu manusia yang kehilangan sensitivitas moral, yang tidak lagi terguncang oleh keburukan, bahkan menikmati kesalahan sebagai kelicikan yang cerdas. Mereka bukan tidak tahu mana benar dan salah, tetapi menolak mengakui kebenaran ketika kebenaran itu mengancam kenyamanan atau kepentingan mereka.
Dalam istilah Al-Qur’an, kondisi ini disebut sebagai “qasat qulubukum” — qalbu yang mengeras. Allah SWT menggambarkannya dengan sangat kuat dalam firman-Nya:
“Kemudian setelah itu qalbumu menjadi keras, sehingga seperti batu, bahkan lebih keras…”
Ayat ini bukan hanya mengisahkan watak Bani Israil di masa lampau, tetapi juga memotret wajah manusia modern yang kehilangan rasa takut kepada Allah SWT.
▪️Ketika kebenaran tidak lagi dijadikan cermin, tetapi senjata untuk menyerang balik;
▪️Ketika kekuasaan lebih dipercaya daripada nurani; dan
▪️Ketika dosa tidak lagi menimbulkan sesal, melainkan disiasati agar tampak sah—di situlah kalbu telah membatu sebelum tubuhnya mati.
Setiap kekerasan kalbu bermula dari penolakan terhadap kebenaran kecil yang diabaikan. Tidak ada manusia yang tiba-tiba membatu; ia mengeras perlahan—melalui lapisan-lapisan pembiasaan salah yang dibiarkan tanpa penyesalan.
Awalnya hanya kesalahan ringan yang tidak diakui. Lalu muncul kebohongan kecil yang dijaga demi gengsi. Seiring waktu, setiap penolakan terhadap kebenaran menumpuk menjadi kerak di dalam kalbu. Hingga akhirnya, yang dahulu terasa salah kini tampak biasa, dan yang dahulu membuat gelisah kini terasa wajar.
Ketika kesalahan itu menyentuh wilayah kekuasaan, jabatan, atau kepentingan, proses pembekuan kalbu semakin cepat. Manusia mulai mencari pembenaran, bukan kebenaran.
Ia menyusun alasan, membangun narasi, bahkan membentuk sistem yang menutupi kesalahan itu agar tampak sah. Demi melindungi citra, ia menggerakkan pembela, menggandeng buzzer, influencer, dan relawan opini untuk mengubah dosa menjadi narasi keberhasilan. Kebohongan diulang, lalu diterima sebagai “kebenaran versi propaganda.”
Inilah fase ketika dosa mulai mencari pembenaran sosial—saat masyarakat terpecah antara yang percaya pada fakta dan yang terbius oleh ilusi moral. Dan di tengah hiruk-pikuk pembelaan itu, suara nurani perlahan padam.
Padahal dalam pandangan Al-Qur’an, kebenaran tidak butuh pembelaan, hanya pembuktian. Kebenaran tegak bukan karena ramai diucapkan, tetapi karena nyata dalam amal dan kejujuran.
Sebaliknya, kesalahan—sekecil apa pun—adalah peluang untuk memperbaiki diri dan kembali kepada Allah SWT. Karena setiap pengakuan atas dosa adalah pintu taubat, sedangkan setiap pembenaran atas kesalahan adalah langkah menuju kematian kalbu.
Ketika pembenaran diri terus dibiarkan, kalbu perlahan kehilangan daya rasa terhadap kebenaran. Ia mulai terbiasa hidup dalam kabut abu-abu antara benar dan salah. Yang semula salah menjadi dapat dimaklumi; yang semula menipu dianggap taktis; yang semula dosa dipandang strategi. Pada titik ini, kalbu sudah kehilangan hayā’ — rasa malu di hadapan Allah SWT.
Inilah fase yang paling berbahaya: saat kesalahan tidak lagi disadari sebagai kesalahan. Bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak mau tahu. Ketika penolakan terhadap kebenaran menjadi kebiasaan, kalbu mengeras — bukan hanya beku, tapi juga menolak perubahan. Inilah yang ditegaskan Al-Qur’an dalam firman-Nya:
“Fahiya kal-hijarah aw asyaddu qaswah”—“Kalbu itu seperti batu, bahkan lebih keras.”
Perumpamaan ini mengandung pesan mendalam. Batu, meski keras, masih tunduk kepada hukum Allah SWT: ada yang memancarkan air, ada yang terbelah hingga mengeluarkan sumber kehidupan, bahkan ada yang jatuh karena takut kepada-Nya. Tetapi kalbu yang membatu justru menolak tunduk kepada kebenaran, walaupun kebenaran itu datang berulang kali mengetuknya. Ia menolak cahaya sebagaimana batu menolak matahari, menutup diri dari setiap peringatan, dan menolak setiap panggilan untuk memperbaiki diri.
Fenomena ini nyata di tengah masyarakat: ketika pelaku kesalahan tidak hanya mengabaikan kritik, tetapi melawan balik suara kebenaran.
Mereka yang menegur dianggap mengganggu stabilitas, yang menuntut keadilan dicap sebagai pembenci, dan yang diam dipuji karena “bijak.” Narasi pun dibalik: pelanggar disebut pejuang, penipu disebut cerdas, dan pengkhianatan terhadap amanah dibungkus dengan retorika moral yang indah.
Inilah tanda kalbu yang benar-benar membatu. Tidak lagi mampu membedakan malu dengan marah, kritik dengan ancaman, dosa dengan prestasi. Dan lebih dari itu—ia tidak lagi takut kepada Allah SWT, tetapi takut kehilangan kekuasaan, citra, dan tepuk tangan manusia. Pada titik ini, kemunafikan tidak lagi menjadi dosa tersembunyi, melainkan identitas sosial yang dirayakan.
Ketika kebohongan tidak lagi dianggap salah, maka yang mati bukan sekadar akal, tetapi kalbu sebagai pusat nurani. Pada tahap ini, pembekuan kalbu berubah menjadi penyakit sosial yang menular. Kebohongan menjadi alat politik, dusta dijadikan strategi, dan manipulasi dianggap kecerdikan.
Yang paling berbahaya bukan lagi orang yang berdusta, tetapi masyarakat yang menikmati dan membenarkan dusta itu seolah-olah bagian dari permainan yang wajar.
Ketika nilai-nilai ini meresap ke dalam struktur kekuasaan, lahirlah pengkhianatan spiritual yang berlapis. Janji kepada Allah SWT diucapkan dalam sumpah jabatan, tetapi dilanggar tanpa rasa gentar. Amanah publik yang seharusnya dijaga, justru diperdagangkan. Dan demi menjaga citra atau melindungi kesalahan masa lalu, kebenaran dikorbankan, bahkan dijual kepada opini yang bisa dibeli.
Kalbu yang seperti ini tidak sekadar membeku, tetapi terbalik orientasinya.
Yang seharusnya takut kepada Allah SWT, justru takut kehilangan pengaruh.
Yang seharusnya tunduk pada kebenaran, justru menundukkan kebenaran agar sesuai dengan kepentingan.
Inilah fase paling gelap dalam kehidupan spiritual manusia—ketika kebohongan tidak lagi terasa sebagai dosa, tetapi dianggap bagian dari kelaziman hidup berkuasa. Ayat ini menutup dengan kalimat yang sangat tegas dan menembus seluruh lapisan kesadaran:
“Dan Allah SWT tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Kalimat ini bukan sekadar ancaman, melainkan tamparan moral dan epistemologis. Menegaskan bahwa tidak ada kebohongan yang benar-benar tersembunyi; tidak ada dusta yang benar-benar aman; tidak ada pengkhianatan yang benar-benar luput dari catatan Ilahi.
Kekuasaan mungkin mampu menutupi kebenaran di hadapan manusia, tetapi tidak bisa menutup catatan kebenaran di Lauhul Mahfūz. Manusia bisa menyusun versi sejarah yang berpihak, tetapi Allah SWT-lah yang menyimpan versi hakiki dari setiap perbuatan. Dan ketika seluruh lapisan dusta telah tersingkap di hadapan-Nya, barulah manusia sadar — bahwa yang selama ini dibangun bukanlah kejayaan, melainkan istana kegelapan dari kebohongan yang terus dipoles.
Ketika kebohongan telah menjadi bagian dari sistem hidup, maka yang padam bukan sekadar akal sehat, melainkan cahaya dalam kalbu. Manusia masih bernapas, tetapi sesungguhnya ia telah kehilangan kehidupan hakikinya — hidup tanpa nurani. Kalbu yang membatu adalah kondisi “mati dalam hidup.” Mendengar kebenaran, tetapi tidak lagi tergerak. Melihat peringatan, tetapi tidak lagi tersentuh. Bukan karena tidak tahu, melainkan karena telah terlalu sering menolak cahaya yang datang menghampiri. Setiap kali kebenaran ditolak, terbentuklah satu lapisan baru di atas nurani; dan lapisan-lapisan itu, dari waktu ke waktu, mengeras menjadi dinding yang menahan cahaya masuk.
Akhirnya, manusia hidup di balik batu ciptaannya sendiri—sebuah ruang gelap yang ia sebut kenyamanan. Mereka masih menyebut nama Allah SWT, masih mengutip ayat-ayat-Nya, masih menampilkan wajah religius di hadapan publik.
Namun yang berbicara hanyalah lidah, bukan kalbu. Yang bergetar hanyalah suara, bukan kesadaran. Cahaya yang dulu pernah singgah dalam diri mereka kini terkurung di balik batu keras—batu yang mereka bentuk sendiri dari lapisan dusta, kesombongan, dan pembenaran.
Inilah tragedi rohani yang paling dalam, ketika agama hanya menjadi bahasa, bukan kesadaran; ketika kalimat tauhid diucapkan, tetapi tidak lagi menembus ke dalam kalbu.
Mereka tidak berhenti beribadah, tetapi ibadahnya tidak lagi menyalakan nurani. Mereka tetap berbicara tentang moral, tetapi tanpa keberanian untuk hidup bermoral. Yang tersisa hanyalah kulit kesalehan tanpa isi, simbol ketaatan tanpa roh.
Dan seperti cahaya yang dipantulkan oleh cermin berdebu, setiap kebenaran yang menyentuh mereka hanya akan dipantulkan kembali sebagai dalih. Cahaya tidak lagi menembus, karena dinding batin telah berubah menjadi cangkang batu. Dalam keadaan itu, manusia tidak kehilangan Tuhan karena Allah SWT jauh—tetapi karena ia sendiri menutup jalan menuju-Nya.
Maka, ketika cahaya kebenaran tak lagi mampu menembus kalbu, itulah saat manusia kehilangan dirinya. Masih hidup di dunia yang terang, tetapi batinnya gelap. Masih berbicara tentang kebenaran, tetapi suaranya hanya gema dari ruangan kosong yang sunyi.
Kalbu yang membatu tidak lahir dari dosa besar yang tiba-tiba, tetapi dari dosa kecil yang diabaikan, diulang, dan tidak disesali. Tumbuh perlahan dari kesombongan halus—perasaan bahwa diri selalu benar, perasaan aman di tengah kesalahan, dan keyakinan bahwa ampunan Allah SWT bisa ditunda setelah kepentingan terpenuhi.
Ketika kesalahan kecil itu dibiarkan menumpuk tanpa tobat, ia berubah menjadi kerak moral yang menutupi cahaya nurani. Dan pada saat itu, manusia masih tampak hidup, tetapi batinnya telah beku.
Ayat ini menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang memegang amanah, dalam bentuk apa pun—jabatan, kekuasaan, pengaruh, atau kepercayaan publik. Sebab setiap amanah adalah ujian, bukan kehormatan mutlak.
Ketika amanah disalahgunakan lalu dibela dengan kebohongan, itu bukan lagi pelanggaran etika, tetapi pengkhianatan spiritual terhadap Allah SWT. Sebab sumpah jabatan bukan hanya kontrak sosial, melainkan ikrar di hadapan Tuhan Yang Maha Mengetahui isi kalbu.
Manusia sering lupa bahwa kekuasaan bersifat sementara, tetapi dosa terhadap amanah bersifat kekal sampai ia diselesaikan dengan kebenaran dan tobat. Dan ketika seseorang membela diri dengan dusta, bukan hanya kebenaran yang ditutupi, tetapi juga jalan ampunan yang ia tutup sendiri.
Al-Qur’an memberi perumpamaan yang sangat tajam:
Artinya, bahkan benda mati masih tunduk pada getaran Ilahi. Namun manusia—makhluk yang diberi akal dan roh—bisa menjadi lebih keras dari batu ketika kehilangan rasa takut itu.
Inilah tragedi spiritual terbesar:
Pada saat itu, manusia tidak lagi hidup dalam cahaya iman, melainkan bernapas di dalam kegelapan nurani yang membeku. Namun Al-Qur’an selalu meninggalkan ruang harapan.
Batu yang keras pun bisa terbelah dan memancarkan air; demikian pula kalbu yang membatu masih bisa luluh bila disentuh oleh cahaya tobat. Syaratnya hanya satu—keberanian untuk mengakui kebenaran dan bersujud kepada-Nya tanpa topeng. Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan manusia bukanlah seberapa besar kuasanya, tetapi seberapa lembut kalbunya di hadapan Allah SWT.
Artikel ini sudah dimuat di kumparan.com
Arief Sulistyanto, Pemerhati Kepemimpinan, Etika Publik, dan Refleksi Spiritualitas Sosial.
