Kehadiran Greta di geladak kapal ini menegaskan bagaimana jalur aktivisme seseorang bisa melintasi isu — dari iklim ke hak asasi dan bantuan kemanusiaan. Foto wikipedia |
ACEHDIURNA.COM - Di mata dunia, Greta Thunberg lebih sering dipandang sebagai ikon gerakan iklim — gadis berkepang yang memulai mogok sekolah demi iklim pada 2018.
Tahun 2025 menempatkan namanya dalam babak baru: ia ikut bergabung dengan Global Sumud Flotilla, konvoi sipil internasional yang berupaya menembus blokade dan mengantar bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.
Kehadiran Greta di geladak kapal ini menegaskan bagaimana jalur aktivisme seseorang bisa melintasi isu — dari iklim ke hak asasi dan bantuan kemanusiaan.
Titik awal: anak yang duduk di trotoar Stockholm
Aksi sederhana itu berkembang menjadi gerakan global Fridays for Future: siswa-siswa di seluruh dunia meniru, turun ke jalan dan menuntut politik serta kebijakan berani untuk mengatasi perubahan iklim.
Dalam beberapa tahun Greta berbicara di forum-forum internasional—dari PBB sampai konferensi besar—menyuarakan urgensi ilmiah dan mempersalahkan kelambanan para pemimpin.
Evolusi peran: dari iklim ke solidaritas kemanusiaan
Meski dikenal karena kampanye iklim, karier publik Greta tidak statis.
Ia kerap menunjukkan solidaritas lintas-isu—mendukung komunitas adat, menentang proyek yang merusak hak asasi, dan dalam beberapa kesempatan terakhir menyatakan dukungan terhadap upaya bantuan bagi warga sipil yang terdampak konflik.
Keterlibatannya dalam konvoi bantuan ke Gaza adalah kelanjutan dari pola tersebut: perpaduan antara platform publiknya dan komitmen nyata untuk hadir di medan aksi.
Mengapa ikut Flotilla?
Alasan bergabung berbeda-beda menurut aktivis: beberapa melihatnya sebagai tindakan kemanusiaan murni—mengantar makanan, obat, dan bantuan; sebagian lain memandangnya sebagai protes politik terhadap kebijakan yang dianggap mengekang hak-hak sipil dan akses kemanusiaan.
Bagi figur publik seperti Greta, ikut dalam aksi seperti ini juga memberi perhatian global yang sulit dicapai lewat pernyataan saja—tetapi juga membawa risiko besar: konfrontasi dengan otoritas yang memblokade rute, ancaman keselamatan, dan kritik politik.
Momen-momen penting dalam perjalanan kariernya
2018 — Memulai mogok sekolah untuk iklim di Stockholm; gerakan Fridays for Future berkembang global.
2019–2021 — Bicara di PBB, diundang banyak forum internasional; mendapat pengakuan luas, termasuk penghargaan dan nominasi penting.
2024–2025 — Aktivisme meluas ke solidaritas lintas-isu; tercatat ikut serta dalam Freedom Flotilla (Juni 2025) dan kemudian Global Sumud Flotilla—konvoi besar yang bergerak membawa bantuan ke Gaza pada September 2025. Aksi flotilla ini mendapat perhatian media internasional dan kontra-respons diplomatik.
Konteks dan kontroversi
Global Sumud Flotilla diliputi ketegangan geopolitik: negara-negara yang khawatir atas eskalasi, ancaman intervensi militer, hingga klaim keamanan oleh pihak yang memblokade akses maritim.
Kehadiran tokoh internasional menarik simpati — namun juga kritik yang menuduh politisasi bantuan atau mengaitkan peserta dengan kelompok tertentu.
Di lapangan, ancaman seperti serangan drone terhadap beberapa kapal dan tekanan diplomatik membuat misi ini berisiko tinggi.
Wajah di kapal, bukan di sampul berita saja
Bergabungnya Greta menunjukkan dua hal: pertama, aktor sosial modern bergerak lintas batas isu—iklim, hak asasi, dan bantuan kemanusiaan kini sering saling terkait; kedua, figur publik menggunakan kapital simbolik mereka (kepopuleran, jaringan internasional) untuk menarik perhatian pada krisis yang menurut mereka tak cukup mendapat respons.
Namun tindakan begini juga mengundang debat etis: apakah selebritas membantu memecah kebuntuan politik atau justru menambah gesekan? Jawabannya berbeda-beda bagi setiap pengamat.
Langkah kecil, konsekuensi besar
Dari trotoar Stockholm hingga geladak kapal bantuan di Laut Mediterania, perjalanan Greta menegaskan satu pola: aktivisme abad ke-21 mampu bergerak cepat, mempersatukan isu, dan memaksa public eye menengok masalah yang terabaikan.
Namun setiap langkah menghadirkan pilihan sulit—antara keselamatan, politisasi misi, dan efektivitas bantuan.
Di tengah ketegangan Global Sumud Flotilla, nama-nama seperti Greta menjadi penanda: bukan hanya siapa yang memimpin protes, tetapi siapa yang siap berada di garis depan ketika dunia menonton.[]